Dedi Mulyadi Ingin Hapus PR Bagi Pelajar: Gebrakan Baru Dunia Pendidikan?

“Kenapa anak sekolah harus tetap belajar di rumah padahal sudah seharian di sekolah?”

Pernyataan ini mungkin terdengar kontroversial, tapi justru itulah yang dilontarkan oleh Dedi Mulyadi—tokoh publik yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Lewat kebijakan barunya, ia ingin menghapus pekerjaan rumah (PR) dari rutinitas pelajar. Sebuah gebrakan yang menuai pro dan kontra, namun juga membuka pintu diskusi baru soal cara belajar yang lebih manusiawi.

Mengapa PR Dianggap Perlu Dihapus?

Dedi Mulyadi Hapus PR, Dalam Surat Edaran Nomor 81 dari Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dedi Mulyadi menegaskan bahwa seluruh kegiatan belajar harus diselesaikan di sekolah. Alasannya? Karena PR seringkali justru dikerjakan oleh orang tua, bukan siswa. Ini membuat PR kehilangan fungsinya sebagai alat latihan.

Lebih jauh lagi, Dedi percaya bahwa waktu di rumah harusnya jadi ajang untuk siswa mengembangkan diri, membantu orang tua, bersosialisasi, atau bahkan sekadar rileks. “Anak-anak kita juga manusia, bukan robot yang kerja terus,” katanya dalam sebuah pernyataan publik.

Respons dari Pengamat dan Psikolog

Pendapat Dedi bukan tanpa kritik. Doni Kusuma, seorang pengamat pendidikan, menekankan bahwa PR sebenarnya punya fungsi penting sebagai penguat materi. Tanpa PR, siswa bisa cepat lupa apa yang sudah di ajarkan.

Namun dari sisi psikologis, pendapat Dedi mendapat dukungan. Vera Itabiliana, seorang psikolog anak dan remaja, menyebutkan bahwa penghapusan PR bisa berdampak positif terhadap kesehatan mental anak. “Dengan catatan, sekolah harus bisa mengatur beban belajar agar tetap efektif,” ujarnya.

Baca juga Soal : Kekuasaan Politik dan Ekonomi Hubungan yang Tak Terpisahkan

Pemerintah Pusat: PR Tetap Kewenangan Guru

Wakil Menteri Pendidikan, Atip Latipulhayat, ikut menanggapi kebijakan ini. Menurutnya, pemberian PR adalah hak guru dan bagian dari otonomi sekolah. Meski pemerintah daerah bisa memberi imbauan, tetap harus ada koordinasi dengan Kementerian Pendidikan agar tidak tumpang tindih.

Dampak yang Mungkin Terjadi

Positif:

  • Anak-anak punya waktu istirahat yang cukup.

  • Meningkatkan interaksi sosial dan kekompakan keluarga.

  • Ruang lebih besar untuk eksplorasi minat dan bakat.

Negatif:

  • Risiko lupa materi tanpa penguatan lewat PR.

  • Guru harus bekerja ekstra agar materi tuntas di jam sekolah.

  • Ketidaksiapan sekolah dalam mengatur waktu belajar yang efisien.

Kesimpulan: Perlu Adaptasi, Bukan Sekadar Sensasi

Dedi Mulyadi Hapus PR oleh Dedi Mulyadi jelas bukan sekadar sensasi politik. Ini cerminan dari keresahan banyak orang tua dan siswa terhadap sistem pendidikan yang terlalu menekan. Tapi seperti banyak perubahan besar lainnya, eksekusinya harus cermat dan kolaboratif.

Mungkin PR tidak harus di hapus total. Mungkin solusinya adalah PR yang lebih manusiawi: ringan, bermakna, dan juga di sesuaikan dengan kebutuhan siswa. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan cuma soal nilai, tapi juga soal keseimbangan hidup.

Berani mencoba pendidikan yang lebih ramah anak? Atau masih percaya PR adalah fondasi belajar yang wajib? Kamu di tim mana?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *